“Orang yang
dalam tekanan tanpa memiliki kekuatan memiliki sudut pandang yang beragam,
mereka mengalami dan memahaminya dari sudut pandang yang menguntungkan.
Sebaliknya, orang mempunyai kekuasaan tidak perlu mempelajari dan melihat dari
sudut pandang orang yang ditekan” – Sandra Harding and
Patricia Hill Collins.
Mungkin hal di atas mengungkapkan
bahwa siapapun yang hidup dibawah tekanan apapun itu akan membuat seseorang
memiliki tingkat berpikir yang tinggi. Atau, seberapa besar pengalaman
seseorang akan kehidupannya mempengaruhi pola berpikir yang lebih mendasar,
menyeluruh, dan spekulatif. Atau, bisa juga berlaku bagi siapapun orang yang
hidup dengan penuh kekuasaan dan kemewahan mempengaruhi sempit atau luasnya
cara mereka berpikir. Ya, masih ada banyak kemungkinan untuk mengungkap
pemikiran di atas tergantung dari mana kalian berpikir. Setidaknya, secara
logika pun, siapa saja orang yang hidupnya sudah dimanja kekuasaan tidak mungkin memiliki sudut pandang yang setara
dengan mereka yang kehidupannya dominan akan tekanan. Sebut saja, pola pikir
seorang anak yang dimanja segala sesuatunya oleh kedua orang tuanya mungkin
tidak akan sama dengan pola pikir seorang anak yang harus berjuang untuk
hidupnya sendiri sejak kecil.
Dalam
kehidupan saya, hal ini bukan merupakan suatu hal yang aneh untuk dilihat dan
dirasakan. Bahkan dari segi masyarakat pun sudah terjadi dengan sendirinya.
Hidup memang antara adil dan tidak adil, mengapa? Adil karena Tuhan menciptakan
manusia dengan berjuta pengalaman hidup yang berbeda untuk mempengaruhi pola
berpikir di kemudian hari, namun tidak adil karena seringkali kekuasaan yang
ada tidak dipegang oleh mereka yang open
minded karena berorientasi pada kuantitas materi. Okay, mungkin hal di atas
cukup egois untuk disimpulkan. Namun mengapa saya lebih bernafsu untuk
mengungkapkan hal itu? Karena mayoritas yang digambarkan dan dilihat oleh mata
kita adalah kuantitas materi. Lihat saja, kehidupan di sekitar kita bagaikan
boneka. Dimana yang ber-uang mengendalikan lebih banyak bagian dibandingkan
dengan yang open minded. meskipun yang open minded benar-benar memimpin, tentu harus dibantu dengan uang atau sebut saja materi sebagai sarana melancarkan tujuan. Dimana
sebuah kampanye partai diwarnai dengan uang yang diberikan pada para
pendukungnya agar masyarakat berpihak padanya. Dimana suatu label musik
mengontrol segala karya musisi untuk disesuaikan dengan pasar yang sedang
ramai, hingga akhirnya banyak bermunculan band indie atau independent.
Dimana suatu sumbangan dana akan pembangunan gedung sebuah instansi pendidikan
menentukan diterima atau tidaknya seseorang. Ya, ujung-ujungnya selalu saja
materi. Entah kemana postingan ini akan mengarah. Mungkin apa yang saya lihat
tentang kehidupan ini terlalu sempit, atau bahkan saya tidak melihat sama
sekali.
Seperti pada
postingan sebelumnya, hidup terlalu kompleks. Terutama saat kalian melihat
setiap kejadian secara jeli. Meskipun suatu peristiwa kehidupan terlihat biasa
saja, namun sebenarnya selalu menyimpan suatu hal yang menarik. Sebut saja saat
seorang majikan memarahi pembantu rumah tangganya. Secara kasat mata dan
pemikiran secara umum, akan ada dua hal yang terlintas. Yaitu siapa yang benar
menentukan siapa yang salah. Namun hal ini tidak menunjukkan akan kebenaran
yang sejati. Apa kriteria menentukan suatu kebenaran? Realita? Hampir tidak ada
dan tergantung pada darimana kalian menentukan kebenaran dan kesalahan itu.
Kita sudah hidup secara egois setelah sekian lama. Hal ini terjadi karena kita
(manusia) sering memandang sesuatu hanya sebelah mata dan tidak mendalaminya.
Sehingga menyebabkan kita terburu-buru dalam menyimpulkan sesuatu tanpa
menyadari akar dari suatu masalah yang sebenarnya. Tidak bisa menyalahkan
siapapun di sini. Segala bentuk pemikiran yang terjadi timbul dari pengalaman
yang terjadi sehingga menentukan kita dalam menyimpulkan sesuatu.
Segala
bentuk perselisihan yang terjadi mungkin bukan karena adanya egoisme, sebagian
besar memang iya, tetapi sisanya hanyalah perbedaan dalam cara menyimpulkan
suatu hal. Dalam ber-argumentasi contohnya. Entah kenapa, seringkali keributan
lah yang menjadi akhirnya. Padahal, yang seharusnya terjadi adalah menyatukan
argumen sehingga menghasilkan suatu pemikiran atau penyelesaian atau kesimpulan
yang seimbang. Keributan tidak harus menjadi akhir pada suatu musyawarah,
berbeda dengan perselisihan yang disebabkan karena perbedaan pola pikir yang
tentunya dipengaruhi oleh berbagai hal.
Pernahkah
anda memperhatikan suatu hal yang biasa dan membayangkan akar penyebabnya
hingga hadir berjuta kemungkinan di kepala anda? Atau pernahkah anda melihat
suatu peristiwa di depan mata anda namun tidak hanya melihat, tetapi memikirkan
peristiwa itu secara jeli? Dalam hal ini, mungkin akan ada banyak orang
beranggapan untuk apa kita memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya kita
pikirkan. Dan seringkali dianggap membuang-buang waktu. Tapi, apakah hal ini
yang sebenarnya mempengaruhi tingkat kepedulian kita pada lingkungan di sekitar?
Saya
menyadari beberapa hal. Ternyata, pola berpikir kita seringkali mempengaruhi
pro-kontra dalam kehidupan ini. Juga dalam proses beradaptasi akan suatu hal.
Seseorang yang terbiasa dengan hiruk-pikuk keramaian kota, tinggal diantara
kepungan hal yang instan, mungkin akan sangat sulit terbiasa untuk tinggal di sebuah
desa yang notabene tidak ada hal yang instan di sana. Bahkan untuk tidur tanpa
kipas angin pun rasanya akan kesulitan. Hal ini cukup membuktikan bahwa
pengalaman yang terjadi sepanjang hidup kita benar-benar mempengaruhi cara kita
berpikir dan menyimpulkan suatu hal.
Sangat sulit
untuk memiliki pemikiran yang terbuka. Mungkin karena kita dipaksa untuk
memikirkan sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam kehidupan kita sebelumnya.
Bahkan seorang yang sudah dewasa pun akan sulit untuk menerapkan hal tersebut.
Karena seseorang seringkali merasa dipaksa untuk tidak menjadi dirinya sendiri
saat berusaha untuk membuka pikirannya. Mungkin dari sinilah akhirnya timbul
bentuk keributan karena perbedaan pendapat. Bahkan, suatu pertengkaran pun
dapat timbul meskipun salah satu dari dua orang tersebut sudah berusaha untuk
memahami apa yang diinginkan lawannya. Apakah hal ini membuktikan bahwa
kebanyakan dari kita hanya ingin dimaklumi bukan memaklumi?
Tentang
beradaptasi, mari kita lihat tentang kasus orang tua yang memarahi anaknya yang
baru saja memasuki jenjang pendidikan taman kanak-anak melontarkan kata-kata
yang tidak seharusnya diucapkan. Banyak sekali respon yang timbul dari orang
tua saat mendapati buah hatinya mengucapkan hal yang tidak pantas. Menurut
Piaget, hal ini disebut sebagai tahap praoperasional.
Dimana anak-anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar.
Pemikiran simbolis melampaui hubungan sederhana antara informasi sensor dan
tindakan fisik. Akan tetapi, walaupun anak-anak prasekolah dapat secara
simbolis melukiskan dunia, menurut Piaget, mereka masih belum mampu untuk
melaksanakan apa yang disebut “operasi” tindakan mental yang diinternalisasikan
yang memungkinkan anak-anak melakukan secara mental apa yang sebelumnya
dilakukan secara fisik. Hal ini sering terjadi pada anak usia 2-7 tahun. Jika
saja hal yang terjadi pada anak itu dibiarkan, tentu akan berpengaruh pada kehidupan
dia saat beranjak dewasa. Karena didikan orang tua berpengaruh besar pada tahap
ini dan tentu menentukan bagaimana anak berpikir dan mengungkapkan suatu hal.
Mengembangkan
pola pikir yang luas untuk diri sendiri sangatlah sulit. Apalagi saat kita tidak
terbiasa untuk peduli akan suatu hal sekitar. Anggap saja saat kita tinggal
dalam sebuah rumah yang besar dengan keluarga kecil. Rumah adalah tempat
tinggal dimana yang bertanggung jawab adalah semua yang tinggal di dalamnya.
Setiap orang bertanggung jawab atas segala yang ada di dalam rumah tersebut.
Sebut saja di dalamnya tinggal sepasang orang tua yang ditemani empat orang
anaknya yang masing-masing kuliah, masih duduk di bangku SMP, SD, dan baru
beranjak ke jenjang pendidikan pertamanya. Mari kita gambarkan sang Ayah
bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berat seperti genteng yang bocor,
kolam ikan yang kotor, memotong rumput yang menjulang tinggi, dan tentunya
bekerja untuk menafkahi keluarga. Lalu, mari kita lihat sang Ibu yang bertugas
untuk mengawasi aktifitas anak-anaknya selama di rumah, memasak, mencuci
piring, mencuci baju, dan menyapu. Selanjutnya, anak yang paling besar bertugas
untuk mengepel, merapikan kamarnya sendiri, mencuci piring yang digunakannya,
mengantar tiga orang adiknya setiap pagi ke sekolah, bertanggung jawab pada
kamarnya, dan mengatur waktunya untuk tetap bertanggung jawab di rumah. Lalu,
anak yang duduk di bangku SMP dan SD hanya bertanggung jawab pada sekolah dan
kebersihan kamarnya saja, berjaga-jaga agar bisa mandiri di kemudian hari.
Sementara, anak yang paling kecil ditanggung oleh sang Ibu untuk segala halnya.
Pada gambaran di atas, mungkin sudah menunjukkan sesuatu yang seimbang dalam
sebuah keluarga. Tapi bagaimana jika dihadirkan seorang pembantu untuk meringankan
beban sang ibu yang ternyata cukup sibuk bekerja? Masih cukup adil bagi saya.
Tapi, bagaimana jika dihadirkan juga seorang baby sitter untuk mengurus dua
anaknya yang paling kecil? Memang membantu jika dilihat dari sudut pandang
seorang wanita karir yang sibuk akan pekerjaannya. Tetapi, bagaimana menurut
sudut pandang seorang Ibu yang sungguh memainkan perannya sebagai “Ibu” yang
sesungguhnya? Jelas akan berbeda. Pembagian tugas dalam sebuah rumah menurut
gambaran di atas sudah cukup adil secara umum.
Sekarang,
mari kita lebarkan pertanyaan yang akan timbul dari gambaran di atas. Bagaimana
cara mereka menjalin komunikasi jika kedua orang tuanya sama-sama bekerja? Bagaimana
perkembangan dua orang anak yang yang paling kecil saat segala sesuatunya dibantu
oleh baby sitter, bukan Ibunya? Bagaimana cara sang ibu menjalin komunikasi
dengan keempat orang anaknya yang memiliki jarak umur cukup signifikan, yang
tentunya mempengaruhi apa yang dipikirkannya? Bagaimana cara sang ayah
menengahkan suatu permasalahan kala sang anak tertua sudah bisa mengembangkan
pola pikirnya dan ikut ber-argumentasi? - Beberapa pertanyaan di atas hanya
sebagian kecil dari yang saya pikirkan. Mungkin kalian sebagai pembaca akan
timbul pertanyaan lain diluar dari yang saya sebutkan. Tapi, untuk menjawab
pertanyaan di atas apakah kalian sebagai pembaca hanya melihat dari gambaran
yang saya berikan? Adakah salah satu dari kalian yang akan bertanya-tanya dalam
diri, “mungkinkah jika ternyata ada hubungan tidak sedarah di dalam keluarga itu?”
atau “mengapa harus menggunakan baby sitter jika sang ibu memiliki tanggung
jawab mengawasi anaknya meski harus bekerja?” atau “mengapa diperlukan seorang
pembantu jika hanya untuk membersihkan rumah? Sedangkan sebagian besar kegiatan
dilakukan di luar rumah karena sang ayah yang mengikuti jam kerja pada umumnya,
sang ibu pun sama, dan anak yang paling besar menghabiskan sebagian waktunya di
kampus.” Atau “Seberapa sibuk sang ibu sehingga memerlukan baby sitter dan
pembantu untuk membantunya?” dan masih banyak perkiraan lain yang tentunya di
bisa saya jabarkan seluruhnya di sini.
Dari
paragraf di atas, kalian sebagian besar pembaca tentunya terpaku dari gambaran
yang saya berikan sementara sebagian lainnya membayangkan di otaknya apa yang
benar-benar akan terjadi jika hal tersebut memang terjadi di kehidupan nyata,
dan tidak menutup kemungkinan juga untuk menyanggah segala pertanyaan dan
gambaran yang saya berikan. Karena semua tergantung dari sisi mana anda
berpikir tentang sesuatu yang anda lihat dan anda bayangkan. Sejauh mana anda
berpikir, sejauh itu juga anda mempedulikan sesuatu yang terlintas dalam diri
dan sekitar anda.
Apa yang
kita pikirkan seringkali dibatasi oleh kemampuan yang kita miliki. Seperti
halnya berpikir akan kegagalan yang akan terjadi di kemudian hari dan kemudian
membayangkan seperti apa jatuhnya nanti. Memikirkan kegagalan memang cukup
membantu untuk antisipasi jika terjadi suatu kegagalan di kemudian hari dan
tahu apa langkah selanjutnya jika kegagalan memang terjadi. Namun, di sisi lain
kita juga tidak boleh terlalu memikirkan atau bahkan takut akan terjadi
kegagalan. Karena yang sering terjadi dalam proses kehidupan adalah trial and error. Atau dengan kata lain
adalah “optimis”. Segala hal yang terlintas di otak kita seringkali
mempengaruhi apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Kembali lagi, tergantung
bagaimana seseorang memandang sesuatu yang ada di hadapannya.
Seseorang
menjadi dermawan bukan karena hartanya terlalu banyak, namun karena ia sadar
bahwa ia tidak hidup sendiri, dan seseorang menjadi dermawan pun pasti sadar akan masa lalunya sehingga membuat dia merasa membantu adalah suatu kewajiban. Jika kita ingin orang lain peduli dengan kita,
maka kita pun harus seperti itu dengan orang lain. Kita manusia sebagai makhluk
sosial tidak mungkin tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk mencapai suatu
tujuan. Dengan begitu, kita juga harus rela peduli dan membantu orang lain
untuk mencapai tujuannya. Pada bagian ini, banyak orang yang menganggap
kepedulian adalah suatu hal yang sepele, bahkan sering terkesan menganggap
remeh tentang kepedulian.
0 komentar:
Posting Komentar