Kadang hidup terlalu menarik untuk
diceritakan. Tapi di sisi lain juga terlalu sedih untuk diungkapkan. Seakan
berjalan pada setapak tak berujung, kita tak pernah tau kemana ini semua akan
berakhir. Sering saya berpikir tentang segala kenyataan yang ada. Apakah ini
semua benar-benar kenyataan atau hanya sekumpulan ujian yang mewarnai garis
hidup ini.
Sejauh ini, kehidupan yang saya
pahami berawal dari gagasan yang selalu terlintas di dalam otak kita. Dimana
kita harus berusaha untuk mewujudkannya sesuai dengan gagasan kita. Akan tetapi
saat ekspektasi tak sesuai dengan gagasan, apakah itu merupakan suatu
kegagalan? Ah entahlah, yang ku tahu itu hanya serangkaian halangan untuk
membuktikan seberapa kuat diri kita untuk menerima tekanan.
Setiap orang selalu memiliki
kesalahan terbesar dalam kehidupannya, tentu dengan tingkat kesulitan yang
berbeda-beda. Mereka selalu beranggapan bahwa setelah kejadian itu maka
kehidupan mereka berakhir. Sungguh ironi bukan? Satu atau bahkan sejuta
kesalahan dalam hidup, bagi saya bukan merupakan akhir dari kehidupan yang kita
jalani. Tetapi merupakan sebuah jalan yang menunjukkan kebenaran. Bukan
kebenaran yang seharusnya kita ambil, tapi merupakan kebenaran yang kita tidak
tahu.
Mengambil langkah benar atau salah
adalah suatu hal yang abstrak. Kita tak akan pernah tau hal itu baik atau
buruk, benar atau salah, sebelum orang sekitar menghakimi. Seorang wanita
terdekat ku pernah berkata, “segala hal yang baik untuk kita belum tentu baik
untuk orang lain.” Benar memang. Secara umum hidup memang harus seimbang
seperti itu. Tetapi, siapa yang tau hal yang baik untuk diri sendiri selain
diri kita sendiri? Hal ini kadang cukup kompleks untuk membuktikan mana hal
yang baik dan buruk, atau bahkan mana benar dan mana salah.
Kita hidup dalam dunia yang cukup
abstrak, mungkin lebih dari itu. Tidak ada kejelasan yang pasti. Bahkan tidak
ada yang tahu seberapa luas galaksi kita ini. Bisa saja di planet lain, atau
bahkan galaksi yang lain juga hidup manusia seperti kita.
Menetapkan pola pikir gagasan
sebelum kenyataan adalah hal yang sangat sulit. Karena doktrin yang selama ini
kita terima adalah yang dilihat oleh mata adalah kenyataan yang terbatas.
Padahal, di luar sana banyak orang difabel yang bisa hidup dengan cukup bahagia
dengan mewujudkan segala hal yang diinginkannya. Apakah ini suatu keajaiban?
Bukan, itu adalah keinginan yang kuat untuk mewujudkan apa yang terbesit di
dalam otak kita menjadi suatu hal yang nyata. Ketidakyakinan kita dalam
menghadapi kehidupan membuat banyak ide dihapuskan secara permanen dari otak
kita. Bahkan sebagian besar orang mengaku pasrah dalam menjalani sisa hidupnya.
Suatu hal yang cukup aneh sebenarnya. Mereka yang pasrah padahal mengharap
hidup bahagia namun akhirnya terpaksa karna terhimpit oleh segala kenyataan
yang dihadapi. Bagi saya, kenyataan bukan lah sekedar dihadapi, tapi kita harus
mengalahkan kenyataan untuk menjadikan segalanya sesuai dengan apa yang kita
inginkan.
Materi yang ada selalu mengakhiri
harapan kita. Tidak salahnya saat kita mengharapkan suatu hal yang lebih dari kemampuan kita. Hey! Itu
adalah salah satu harapan bukan? Kenapa harus dibatasi seperti itu? Kita
manusia sudah dibekali dengan kemampuan berpikir, berusaha, dan berdoa. Lantas
apa lagi yang tidak mungkin? Selama semua masih bisa diterima oleh akal sehat
manusia, harusnya kita mendapat kebebasan untuk membuktikan segala kemampuan
kita.
Bersyukur akan segala hal adalah
salah satu kewajiban kita. Namun, bersyukur bukan berarti kita berhenti meraih
apa yang sebenarnya kita inginkan. Menurut saya, Tuhan mewajibkan kita
bersyukur bukan berarti kita cukup sampai di situ, tapi saya yakin tujuan
dibalik bersyukur adalah untuk memotivasi diri sendiri agar bisa mendapatkan
sesuai apa yang didambakan.
Dewasa ini, kita selalu mempermasalahkan
tentang perekonomian. Di zaman seperti ini, uang memang kita butuhkan namun
uang bukanlah jaminan sebuah kebahagiaan. Lebih dari satu juta orang memilih
untuk berpikir materialistis untuk mendapatkan kebahagiaan. Entahlah, mungkin
mereka dimanja akan materi, beranggapan bahwa segala barang mewah yang
dimilikinya adalah sebagai status kebahagiaan. That is the real fuckin’ dumb
mindset! Jutaan orang terkapar kelaparan, tanpa papan, dan sandang seadanya.
Dimana sisi manusia yang memanusiakan manusia? Tak perlu lah kita melirik
negara tetangga, di negara kita sendiri pun sudah banyak contohnya. Bahkan dari
hal terkecil sekalipun. Sejauh mata saya memandang, banyak hal, ralat terlalu
banyak hal yang dilakukan hanya sekedar formalitas saja. Kesungguhan yang
dilakukan mungkin kurang dari setengah persen. Mereka para manusia
materialisme, mungkin tidak akan pernah menyadari bagaimana rasanya tersenyum
tanpa beban dan tidur ditemani mimpi indah, bukan sekedar gelap saat mata
terpejam.
Coba lihat di sekitar anda, dimana
banyak orang menjalani rutinitas yang stagnan tanpa hal yang baru. Lalu dimana
letak kehidupannya? Bangun pagi, beli sarapan, berangkat kerja, melakukan
aktifitas kerja yang itu-itu saja, pulang saat senja, makan malam dengan
keluarga, dan menerima gaji pada akhir atau awal bulan. Bukankah hal ini
merupakan cerminan kita hidup untuk uang? Dimana uang memang menghidupi kita
dan merupakan status kemapanan seseorang. Secara logika, memang benar adanya
karena apa yang terjadi memang seperti itu. Lantas dimana kebahagiaan kita yang
seharusnya hidup penuh cinta? Jutaan buruh dan pekerja di luar sana mengeluhkan
akan pekerjaan yang mereka jalani, namun saya yakin mereka memilih itu karena
sebuah keterpaksaan. Yap! Keterpaksaan demi materi yang diyakini satu-satunya
cara mereka bertahan hidup. Dimana canda tawanya? Mereka mungkin tertawa dan
tersenyum, karena menutupi bagian sedih dari kehidupan yang dijalaninya, mereka
bukan tertawa dan tersenyum untuk bahagia. Miris bukan? Tapi, pernahkah anda
melihat suatu kehidupan dimana sebuah
keluarga hidup dengan damai, penuh canda tawa, seakan masalah hanyalah sebuah
debu yang menempel pada meja, mudah dibersihkan? Saya hidup di tengah dua buah
keluarga yang cukup berbanding terbalik. Dimana keduanya cukup mempengaruhi
segala pola pikir saya. Salah satu diantaranya merupakan sebuah kesatuan
keluarga yang jika dipandang secara jeli hampir tidak terpenuhi keinginannya,
namun sepanjang waktu yang saya lewati adalah kebahagiaan, penuh syukur, dan
tak pernah berehenti berusaha untuk mewujudkan sebuah mimpi, bahkan sekecil
apapun mimpi itu. Tingkat kepedulian satu sama lain yang tinggi, memikirkan hal
sampai sedetail mungkin jika terjadi sebuah kesalahan. Karena mereka
beranggapan sekecil apapun itu, kebohongan apapun tentu akan menjadi fatal di
kemudian hari. Dan tentunya tidak menganggap segala hal adalah mudah. Karena
perlu disadari bahwa tidak ada hal yang tidak membutuhkan usaha, dan dari
situlah akan muncul rasa menghargai dan peduli. Mungkin cukup sulit ditemukan
saat ini, karena mayoritas manusia terdoktrin untuk hidup demi materi.
Saya sadar diri, disaat
mengungkapkan hal seperti di atas pasti akan disangkal banyak orang. Secara
mendasar saya tidak menghakimi, namun bagi yang menyangkal juga tidak boleh
menutup diri dan harus membuka pikiran seluas-luasnya. Saya akan sangat senang
hati untuk menerima kritikan dan jika bersedia menemani saya ngobrol lewat
email atau chatting. Membahas hal seperti ini seakan mengungkap misteri yang
tiada akhir. Namun hal-hal materialisme memang berefek sangat fatal. Dimana
akan terjadi sebuah korupsi dan mengorbankan segala hal demi materi. Rasanya
tak perlu lagi saya menjabarkan hal itu, sudah terpampang jelas di depan mata
dan media.
Bahagia memang sulit di definisikan,
mungkin lebih terkesan tak terbatas. Karena setiap orang pasti memiliki tingkat
yang berbeda dalam merasakannya. Namun, yang sering terlihat bukanlah bahagia
yang sesungguhnya, mereka terpuruk demi bahagia, mereka menangis demi bahagia.
Tapi tetap saja, bukan bahagia yang tercipta malah kesedihan yang terus datang.
Entahlah, kenapa hal seperti ini sering terjadi. Apakah kita terlalu rumit?
Terlalu gengsi untuk bersyukur? Terlalu malu untuk merendah? Atau apa apalagi?
Jika menganggap hal itu merupakan sebuah pengorbanan, mungkin adalah kalimat
paling klise yang tercipta. Yang saya tahu, bukan pengorbanan tetapi usaha.
Berkata tentang pengorbanan mungkin mengingat betapa sakitnya kehidupan mereka
terdahulu yang sebenarnya merupakan sebuah usaha.
Yang cukup menarik saat ini adalah
materi sebagai kebahagiaan. Entah kenapa, masih banyak orang di sekitar kita
yang beranggapan bahwa jika kita belum mempunyai mobil maka belum mapan, jika
rumah tidak murni hasil sendiri dianggap curang. Sungguh suatu perspektif yang
tidak adil. Kemampuan setiap orang untuk mendapat kebahagiaan adalah
berbeda-beda, tapi mengapa harus dituntut dengan mengedepankan materi? Jika
kita lebaran merasa cukup dengan mengenakan baju muslim yang sama dengan tahun
sebelumnya, kenapa harus dituntut untuk membeli yang baru? Jika kita merasa
cukup dengan menggunakan kendaraan yang sudah berumur namun sehat, kenapa harus
dipermalukan? Bodohnya kita, selalu terpancing dengan hal material seperti itu
hanya karena orang lain merendahkan kita.
“Dimana kaki berpijak, di situ langit
dijunjung.” Sepertinya, peribahasa ini tercipta atas dasar toleransi
dan mengurangi egoisme. Layaknya pepatah “Take or Leave.” Jika kita tidak
bisa mengikuti aturan yang ada maka alangkah baiknya kita angkat kaki dari
suatu tempat. Namun, jika dilihat dari sudut pandang realita saat ini, hal yang
terjadi adalah menginjak hak seseorang atau bahkan memperbudak. Pada bagian
ini, bisa dilihat dari ratusan ribu PRT yang bekerja. PRT atau asisten rumah
tangga juga manusia, butuh bahagia, namun seringkali hak-haknya diacuhkan
begitu saja. Tidak sekali dua kali saya melihat seorang asisten rumah tangga
dibentak atau diperlakukan tidak manusiawi oleh majikannya. Mereka (Asisten
rumah tangga) sudah mengikuti aturan yang ditetapkan oleh majikannya. Namun
kenapa mereka seringkali jadi kambing hitam jika terjadi suatu kesalahan di
dalam sebuah rumah? Sudah adilkah kalian para penguasa kehidupan di rumah?
Kadang, pada sisi ini saya berpikir, bagaimana kita dapat hidup bahagia jika
kita sendiri tidak bisa membuat orang lain merasa bahagia? Mereka para majikan
seringkali bertutur kata yang tidak sewajarnya kepada para asisten rumah
tangga. Selalu saja mereka bertindak seolah penguasa yang sedang menindas kaum
minoritas.
0 komentar:
Posting Komentar